Kamis, 15 Desember 2011

Sejarah Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang Masalah
Sudah cukup lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam (muslim world) lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) untuk dapat di terapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat.
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Sekarang, saatnya kita membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah kita dapat menghilangkan wabah negative spread “keuntungan minus” dari dunia perbankan.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.
Berdasarkan uraian diats, maka penulis tertarik untuk mengambil penelitian dengan judul “Sejarah Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia”.

1.2.      Identifikasi Masalah
            Dari latar belakang penulisan ilmiah ini, penulis mengindentifikasikan masalahnpenelitian sebagai berikut :
a.       Masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang.
b.      Kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat tentang perbankan Syariah.
c.       Masih banyak masyarakat yang menganggap perbankan Syariah tidak berbeda dengan perbankan Konvensional yang mencari keuntungan dalam bisnisnya dengan jalan membungakan uang kepada para nasabahnya.

1.3.      Batasan Dan Rumusan Masalah
1.3.1.   Batasan Masalah
            Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis memfokuskan permasalahan dilihat dari dasar hukum, manajemen perbankan Syariah, prinsip Syariah, kegiatan usaha Bank Syariah, dan Bank Muamalat.
1.3.2.   Perumusan Masalah
            Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, masalah dalam perumusan ini dirumuskan sebagai berikut :
1)      Seberapa besar kualitas Bank Syariah terhadap perekonomian Negara ?

1.4.      Maksud dan Tujuan Penulisan
1.4.1.   Maksud Penulisan
Penulisan ini dikerjakan dengan maksud selain menyusun Penelitian Ilmiah sebagai persyaratan dalam memenuhi penilaian mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan 1 pada Program Strata Satu Sarjana Ekonomi Universitas Gunadarma Konsentrasi Manajemen serta mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi perbankan Syariah.

1.4.2.   Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan ini adalah untuk :
1)      Mengerti dan memahami tentang dasar hukum perbankan syariah
2)      Mengerti dan mengetahui tentang Prinsip Syariah
3)      Memahami tentang kegiatan usaha bank syariah

1.5.      Kegunaan Penulisan
Selanjutnya, kegunaan yang diharapkan dari penulisan ini adalah :
1)      Secara Akademis
diharapkan dapat mengetahui bagaimana sistem perbankan syariah beroperasional secara lebih luas.
2)      Secara Praktis
Diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya pengetahuan bagi pihak yang ingin mengalokasikan dananya melalui lembaga perbankan.
3)      Penulis ingin memberikan alternatif untuk para calon nasabah, di bank manakah sebaiknya mereka menyimpan dana tabungannya.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.      Dasar Hukum
Kemunculaan perbankan syariah diawali dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang menggantikan undang-undang perbankan sebelumnya yakni Undang-undang No.14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, selanjutnya dikeluarkan peraturan pelaksanaan mengenai Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang No. 7 tahun 1992 ditegaskan bahwa bank dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Akan tetapi dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, peraturan pelaksana mengenai Bank Berdasarkan Prinsip Syariah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sehubungan dengan itu Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1999.
Perbankan syariah dalam menjalankan aktivitasnya wajib menggunakan heirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar hukum serta beberapa peraturan dari instansi tertentu yang terkait secara langsung terhadap bank syariah. Adapun dasar hukum yang menjadi dasar dari perbuatan subyek hukum terutama dalam perbankan syari’ah adalah sebagai berikut :
1.      Pancasila
Pancasila tidak dimasukkan dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi lebih disebut sebagai norma dasar Negara. Pancasila merupakan landasan filosofis dari setiap produk hukum di Indonesia, sehingga semua substansi peraturan yang berada dibawahnya tidak bertentangan dengan setiap silan yang ada. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan filosofis bagi institusi-institusi keagamaan termasuk juga bank syariah. Secara umum sila ini memberikan pernyataan bahwa negara melindungi setiap warga negaranya dalam menjalankan aktifitas keagamaannya selama tidak bertantangan dengan hukum dan norma-norma sosial, sebagaimana dijabarkan dalam pasal 29 UUD 1945. Selain itu, jika dihubungkan dengan prinsip Islam, sila ini menunjukkan adanya unsur tauhid atau ke-Esa-an Allah SWT. dan sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang beragama.
Bank syariah dan Bank Pembiayaan Masyarakat yang menjalankan usahanya berdasar pada  prinsip ekonomi Islam (fiqh muamalah) memiliki kesempatan yang luas dalam mengembangkan usahanya dengan adanya perlindungan dari negara, sebab usaha ini dapat dikatagorikan dalam praktik peribadatan umat Islam pada bidang ekonomi. Usaha yang mengedepankan prinsip tolong menolong, kejujuran, antaradin, dan keadilan sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
2.      Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen atau norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi :
1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3.      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4.      Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5.      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini  diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan substansi pasal di atas dapat diketahui bahwa sistem perekonomian di  Indonesia mengacu pada beberapa prinsip, antara lain:
a.       Kebersamaan dan kekeluargaan
b.      Kemakmuran rakyat
c.       Keadilan
d.      Berkelanjutan
e.       kemandirian
      Bank Syariah sebagai salah satu pelaku perekonomian memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas dalam menjalankan aktivitasnya. Menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan untuk meningkatkan kemandirian rakyat dalam berusaha yang berkelanjutan guna  meningingkatkan perekonomian mereka berdasarkan prinsip kekeluargaan.
3.      Undang-Undang No.14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
Sesungguhnya regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis di mulai sejak tahun 1967, yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan. Akan tetapi dalam Undang-Undang ini tidak ditemukan pasal yang mengatur sistem Perbankan  secara spesifik, terutama yang berkenaan dengan perbankan syari’ah, melainkan mengatur sistem perbankan yang berlaku pada masa itu secara komperehensif, yakni berupa perbankan konvensional.
Oleh karena itu pada periode ini, tidak dimungkinkan berdirinya sistem perbankan syari’ah, akan tetapi Undang-Undang inilah yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syari’ah.
4.      Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Gagasan bank syariah di Indonesia muncul sejak tahun 1980-an oleh beberapa orang praktisi di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Di awal tahun 1980-an, sisitem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah mulai mengalami kesulitan. Dan dampak yang muncul adalah :
a.       Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung pada likuiditas Bank Indonesia
b.      Tidak ada persaingan antar bank akibat dari penentuan tingkat bunga oleh pemerintah
Hal tersebut menyebabkan pemerintah kemudian mengeluarkan Deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 juni 1983 yang membuka belenggu penetapan tingkat bunga tersebut dengan harapan suatu bank dapat menentukan tingkat bunga sebesar 0%.
Akan tetapi Deregulasi 1 juni 1983 ini tidak menimbulkan suatu dampak yang merupakan penerapan dari sistem perbankan syari’ah melalui perjanjian murni berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ada beberapa alasan yang menghambat ter-realisasinya Deregulasi tersebut, yakni:
a.       Operasi bank islam yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur
b.      Deregulasi tersebut tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan N0.14 Tahun 1967
c.       Konsep Bank Islam dianggap berkonotasi ideologis, karena berkaitan dengan Negara Islam, sedangkan Indonesia bukanlah Negara Islam.
Dan pada masa itu Bank Islam belum dapat berdiri, karena bank-bank yang telah ada di Indonesia masih beranggapan bahwa sistem bank tanpa bunga bukanlah sebagai bisnis yang dapat menguntungkan. Oleh karena itu digunakanlah badan hukum koperasi sebagai bentuk hukumnya, sebagai wadah penerapan sistem perbankan syari’ah.
5.      Periode Pakto 1988
Pada tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan seluas-luasnya dengan tujuan untuk memobilitasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada.
6.      Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1992  Tentang Perbankan
Titik terang berdirinya Bank Syariah dimulai sejak diadakannya lokakarya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dilanjutkan pada Musyawarah Nasional IV MUI pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia yang memakai prinsip ekonomi Islam dalam menjalankan aktivitasnya. Secara yuridis keberadaan bank Syariah pertama kali diakui oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7.      Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
Peraturan Pemerintah  Nomor 70 Tahun 1992  adalah peraturan operasional dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini disebutkan mengenai bank bagi hasil, yakni:
Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Tidak ada pasal lain dalam peraturan pemerintah ini yang mengatur mengenai bank yang menjalankan prinsip bagi hasil dalam aktivitasnya.
8.      Undang-undang Nomor  10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pada tahun 1998, undang-undang nomor Nomor 7  Tahun 1992  dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor  10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Perubahan-perubahan yang ada dalam substansi undang-undang perbankan memberikan peluang yang lebih besar kepada bank syariah untuk berkembang. Adapun tujuan dikembangnya sistem perbankan syariah antara lain :
1.      Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga
2.      Membuka peluang bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan (mutual investor relationship)
3.      Meniadakan pembebana bunga yang berkesinambungan dan pembiayaan usaha berbasis moral.
Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1992 menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
9.      Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan.
10.  Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 :
Prinsip  Syariah  adalah  prinsip  hukum  Islam  dalam kegiatan  perbankan  berdasarkan  fatwa  yang  dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

2.2.      Pengertian Prinsip Syariah
Pengertian Prinsip Syariah juga tertuang dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008 yakni prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenengan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu prinsip syariah dan implementasinya dalam praktik perbankan terkait dengan rukun dan syaratnya berpedoman pada berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang terkait dengan Perbankan Syariah.
Prinsip Syariah selanjutnya yang berunsur islamiah adalah :
1.      Prinsip bagi hasil (mudharabah)
2.      Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah)
3.      Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah)
4.      Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah)
5.      Prinsip pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Schaik (2001) mengemukakan bahwa terdapat tujuh prinsip ekonomi Islam yang menjiwai bank syariah, yaitu :
1.      Keadilan, kesamaan dan solidaritas
2.      Larangan terhadap objek dan makhluk
3.      Pengakuan kekayaan intelektual
4.      Harta sebaiknya digunakan dengan rasional dan baik (fair way)
5.      Tidak ada pendapatan tanpa usaha dan kewajiban
6.      Kondisi umum dari kredit
7.      Dualiti risiko
Menurut Muhammad Budi Setiawan, prinsip-prinsip Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku investasi syariah (pihak terkait) adalah :
1.      Tidak mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram.
2.      Tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.
3.      Keadilan pendistribusian kemakmuran.
4.      Transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha.
5.      Tidak ada unsur riba, maysir (perjudian/spekulasi), dan gharar (ketidakjelasan/samar-samar).
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
1.      Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2.      Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3.      Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
4.      Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5.      Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip dari kegiatan perbankan di bidang syariah tersebut sebenarnya hanya digolongkan pada 3 kegiatan pokok, yaitu:
1.      Kegiatan Penghimpunan Dana (yang dikenal dengan istilah “Funding”)
Artinya, Bank mengumpulkan dana dari masyarakat untuk disimpan dalam bank dimaksud. Dalam perbankan syariah, Prinsip/bentuk konkrit dari kegiatan Funding tersebut terdiri atas:
a.       Prinsip Wadi’ah (titipan).
yaitu penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
Jadi orang menaruh dana di dalam Bank tersebut. Bank selaku pihak yang menerima dana dimaksud dapat menyimpan dana tersebut dalam rekening yang berbentuk: Giro atau dalam bentuk tabungan biasa.
b.      Prinsip Mudharabah (bagi hasil).
Adalah: kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
Jadi nasabah yang menabungkan atau mendepositokan dananya pada Bank. Kemudian dana tersebut digunakan oleh Bank untuk membiayai suatu usaha, dan hasilnya dibagi antara Bank selaku pengelola dan nasabah selaku pemilik dana dengan nisbah tertentu. Bentuk Funding yang menggunakan prinsip mudharabah ini bisa berbentuk: Deposito atau tabungan biasa.
2.      Kegiatan Penyaluran Dana (yang dalam bisnis dikenal dengan istilah “Financing”)
Dana yang terdapat di Bank, dapat disalurkan kembali oleh Bank kepada masyarakat,  dengan menggunakan 3 prinsip pokok, yaitu :
a.       Prinsip Jual beli, dimana bentuk akadnya bisa berupa:
1. Murabahah, yaitu: pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh Bank selaku shahib al mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dapat dilakukan secara tunai atau secara angsuran.
2. Istishna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan criteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual. Biasanya digunakan untuk pembiayaan manufaktur seperti: pemesanan mobil pada dealer, pemesanan pembelian rumah pada developer. dll.
3. Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang. Biasanya jual beli yang objeknya di bidang agribisnis. Jadi seperti padi, gandum, tebu, dll.
b.      Prinsip Kerjasama Bagi Hasil, dimana akadnya bisa berbentuk:
1. Mudharabah, yaitu bentuk kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
2. Musyarakah adalah bentuk kerjasama dimana modal ditanggung bersama antara pelaksana dengan pemilik modal. Jadi, jika ada keuntungan maupun kerugian, maka untung rugi tersebut dibagi dua untuk bagian yang sama besarnya. Bedanya dengan mudharabah adalah: pada musyarakah Bank tidak semata-mata menjadi pemilik modal saja, melainkan juga bertindak sebagai pelaksana kegiatan/pekerjaan.
c.       Prinsip Sewa (Ijarah) adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Ijarah terbagi atas 2 bentuk, yaitu :
1. Sewa Menyewa murni (Ijarah murni)
2. Sewa menyewa dengan hak untuk membeli pada akhir masa sewa (Ijarah wal iqtiqna atau lebih dikenal dengan Ijarah Muntahiyah bi al tamlik atau dikenal juga dengan singkatan IMBT).
Bentuk IMBT ini sangat mirip dengan konsep sewa beli (leasing) pada hukum positif.
3.      Prinsip Jasa Keuangan (yang dikenal dengan istilah “Sevice”)
Dalam melaksanakan tugasnya dibidang jasa keuangan, pihak Bank mengutip biaya jasa. Bentuk jasa yang disediakan oleh pihak Bank adalah :
a.       Wakalah yang artinya pemberian kuasa dari nasabah kepada Bank untuk melakukan sesuatu, misalnya pembelian suatu barang.
b.      Kafalah Adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/ pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (peminjam)
Dalam hukum positifnya dikenal sebagai pemberian jaminan perorangan atau perusahaan (personal guarantee atau company guarantee), performance bond, bid bond, bank garansi.
c.       Hawalah adalah: pengalihan hutang dari muhil al-ashil kepada muhal’alaih  Dalam hukum positifnya dikenal sebagai pengalihan hutang (subrograsi). Dalam  prakteknya mengenai hiwalah ini akan dikembangkan menjadi bentuk pembiayaan factoring atau anjak piutang.
d.      Rahn (Gadai) adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan. Jadi, seperti pada konsep gadai yang berlaku pada hukum positif, dimana pihak pemilik barang menyerahkan barangnya kepada Bank. Bedanya adalah: pihak pemilik barang tidak membayar bunga dari pinjaman yang diterimanya, melainkan membayar biaya penitipan. Dimana biaya tersebut digunakan untuk sewa tempat penitipan dan asuransi barang yang digadaikan.
e.       Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
f.       Sharf adalah pertukaran antara emas dengan perak atau sebaliknya, atau pertukaran antara mata uang asing dengan mata uang lainnya (baik mata uang domestic maupun mata uang Negara lainnya). Konkritnya sharf ini adalah: jasa money changer atau perdagangan valas.


2.3          Kegiatan Usaha Bank Syariah
Undang-Undang Perbankan Syariah, telah, disahkan oleh DPR-RI pada hari Selasa, 17 Juni 2008. Dengan lahirnya UU Perbankan Syariah perkembangan bank syariah ke depan, diharapkan,  akan mempunyai peluang usaha yang lebih besar di Indonesia. UU Perbankan Syariah memberikan peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan bank syariah di atas, tidak semuanya dapat dilakukan oleh unit usaha syariah, dan hanya dapat dilakukan oleh bank umum syariah. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bank umum syariah adalah :
1.      Menjamin penerbitan surat berharga.
2.      Penitipan untuk kepentingan orang lain.
3.      Menjadi wali amanat.
4.      Penyertaan modal.
5.      Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pension.
6.      Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (vide Pasal 19 s.d 21) adalah :
1.      Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa Giro, Tabungan atau bentuk lainnya, dan bentuk investasi berupa Tabungan, Deposito atau bentuk lainnya berdasarkan akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2.      Menyalurkan pembiayaaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
3.      Menyalurkan pembiayaan untuk transaksi jual-beli dengan berbagai akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
4.      Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
5.      Menyalurkan pembiayaan penyewaan kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli yang tidak bertentangan dengan prinsip syaraih.
6.      Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
7.      Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah.
8.      Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia.
9.      Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga berdasarkan suatu akad yang sesuai dengan prinsip syariah
10.  Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan akad yang berdasarkan prinsip syariah.
11.  Melakukan fungsi Wali Amanat berdasarkan akad wakalah.
12.  Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah
13.  Menyediakan tempat penyimpanan barang dan surat berharga, memindahkan uang, dan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.
14.  Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan prinsip syariah.
15.  Melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
16.  Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip berdasarkan prinsip syariah.
17.  Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah.
18.  Melakukan  kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
19.  Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek dan jangka panjang berdasarkan prinsip syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang.
20.  Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan sarana elekronik.
21.  Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan prinsip syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang.
22.  Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank umum syariah lainnya yang berdasarkan prinsip syariah.


BAB III
METODE PENULISAN

1.1.            Objek Penulisan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan objek penelitian dengan  menggunakan data dari buku Bak dan Lembaga Keuangan, artikel, internet.

1.2.            Variabel Penulisan

1.3.            Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, untuk memperoleh data dan kesimpulan yang obyektif dan memenuhi permasalahan yang akan dibahas, maka dilakukan beberapa metode penelitian sebagai berikut :
a.       Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang cara pengambilannya melalui browsing di internet.
b.      Studi Pustaka
Studi Pustaka adalah penulis memperoleh data dari beberapa litelatur yang berkaitan dengan penulisan dan berpedoman pada buku sebagai acuan penulisan ini.


BAB IV
PENUTUP

1.1.            Kesimpulan
            Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka.
            Bank syariah adalah bank atau tempat penyimpanan dana yang sesuai dengan hukum-hukum dan landasan agama Islam. Bank ini banyak memberikan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat, khususnya muslim.
            Di Indonesia, mayoritas penduduk beragama Islam, sehingga seharusnya hukum keuangan yang diterapkan mengikuti hukum perekonomian Islam, yaitu bank syariah.

 1.2.            Saran
            Dilihat dari keuntungan-keuntungan dan manfaat dari bank syariah sendiri, seharusnya masyarakat menggunakan bank syariah sebagai tempat penyimpan modal. Namun faktanya pada zaman ini masih banyak yang menggunakan bank konvensional karena tergiur oleh bunga yang dijanjikan. Padahal bunga adalah riba dalam hukum Islam.