Kamis, 29 Maret 2012

DEMONSTRASI BURUH


PENDAHULUAN
Demonstrasi buruh sudah menjadi semacam ritual tahunan. Setiap Oktober dan November, pada saat kepala daerah menetapkan upah minimum untuk tahun berikutnya, suhu politik perburuhan selalu memanas.Dan pada awal tahun berikutnya setiap  bulan Januari, hampir selalu terjadi keributan di berbagai kota menyangkut penetapan Upah Minimum. Dan senjata buruh selalu menggelar demonstrasi besar-besaran, yang memacetkan jalanan utama kota bahkan menutup akses ke berbagai tujuan strategis dan memberikan dampak banyak pihak..
Awal tahun 2012pun diawali dengan aksi demonstrasi para buruh di Kawasan Industri Bekasi dan sekitarnya. Demo buruh kali ini dipicu gugatan PTUN Apindo Kabupaten Bekasi yang akan menggugat SK Gubernur Jawa Barat yang telah menetapkan UMK Kabupaten Bekasi untuk tahun 2012 dimana kemenangan diperoleh Apindo Kabupaten Bekasi pada Kamis 26 Januari 2012 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Dalam amar putusan, Majelis Hakim memerintahkan agar Gubernur Jawa Barat merevisi SK UMK tahun 2012. Upah buruh batal naik 30 persen dari UMK semula yaitu Rp1.491.000.
Para buruh yang kecewa atas pembatalam UMK merasa tidak terima, dan melakukan aksi demo dengan mengusung issu “pemiskinan” untuk menyebut upaya banding yang dilakukan Apindo yang tidak menaikan 30% UMR buruh.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai tuntutan kenaikan upah oleh buruh akan memberi tekanan pada biaya perusahaan. Di tengah krisis global yang saat ini sedang terjadi, tuntutan buruh dianggap dapat merugikan,terlebih lagi berdasarkan survey pada tahun 2011 para buruh tidak menunjukan efektivitas dan efisiensi yang membaik, tingkat produktivitaspun tidak naik jadi mana mungkin upah tinggi sedangkan Produktivitas rendah.
Dalam hal penetapan UMK, ini juga diwarnai issu politik. UMK sudah jadi komoditas politik baru. Di Bekasi, tahun 2012 ini akan dilangsungkan Pilkada untuk memilih Bupati baru. Dan Bupati incumbent ikut mencalonkan diri kembali. Tentu bisa dipahami jika beliau butuh “issu” untuk mendongkrak citranya. Maka tak heran jika kenaikan UMK di Kabupaten Bekasi menjadi terbesar dibanding 26 kota lainnya di Jabar. Prosentasi kenaikannya pun tidak masuk akal, antara 16% - 43,8%. Jika ditotal dengan dampak lain : kenaikan premi Jamsostek, THR, pasca kerja. Upah lembur, bisa jadi kenaikan biaya personil mencapai 45% - 100%. Perusahaan mana yang mampu mengejar kenaikan upah sebesar itu dalam kondisi ekonomi tak terlalu baik
Tapi para buruh bersikeras menuntut kenaikan UMR demi terciptanya kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi mereka. Demo besar-besaran pun dilakukan. Ratusan ribu buruh turun ke jalan. Para buruh menggelar demo mulai hari Senin sampai Kamis, tanggal 16 – 19 Januari. Semua buruh di kawasan Bekasi-Tambun-Cibitung dihimbau untuk ikut demo dengan rute hampir semua kawasan industri di Bekasi dan sekitarnya. Tak cukup hanya 4 hari, rencananya demo akan dilanjutkan pada tanggal 24 dan 26 Januari dan yang terbesar akan dikerahkan pada 31 Januari 2012.
PEMBAHASAN
Rekomendasi UMK Kab Bekasi pun lolos tanpa cacat, sekaligus ditandatangani dan disahkan dalam rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jabar yang didalamnya terdiri dari unsur Serikat Pekerja, Pemerintah, termasuk DPP Apindo Provinsi Jabar. “Semua perwakilan tersebut, termasuk DPP Apindo Jabar, menandatangani surat rekomendasi yang akhirnya disahkan dalam bentuk SK Gubernur.
Tetapi DPK Apindo Bekasi kemudian melayangkan gugatan ke PTUN Bandung untuk mencabut SK Gubernur mengenai UMK Kab. Bekasi tersebut. Langkah pengusaha pun ditanggapi dengan ancaman buruh yang akan menggelar aksi demonstrasi pada 16 hingga 19 Januari 2012 karena Buruh merasa tidak puas terhadap angka UMK yang telah ditetapkan. Karena angka buruh di kisaran Rp2.247.000, sementara yang disepakati hanya sekitar Rp1.491.866.
Aksi itu urung dilakukan setelah DPP Apindo Kabupaten Bekasi dengan Serikat Pekerja menyepakati beberapa poin dari pertemuan di Hotel Grand Sahid, Jakarta. Dalam kesepakatannya, DPP Apindo berjanji akan mencabut gugatannya di PTUN Bandung pada Kamis, 19 Januari 2012. Serikat Pekerja sepakat membatalkan rencana aksi demonstrasi tersebut.
Ternyata DPK Apindo Bekasi tak kunjung mencabut gugatannya di PTUN Bandung hingga waktu yang disepakati. Bahkan, para buruh menilai, kuasa penggugat tidak menunjukan itikad baik. Hingga pada Kamis, 26 Januari 2012, sidang PTUN Bandung membacakan putusan yang memenangkan gugatan DPK Apindo Bekasi. Majelis Hakim memerintahkan agar Gubernur Jabar merevisi SK UMK Tahun 2012. Tak pelak, para buruh pun langsung merespon dengan demo besar-besaran dengan memblokir rus tol Jakarta-Cikampek.
Sebelum melakukan aksi unjuk rasa, massa juga melakukan sweeping ke perusahaan-perusahaan guna mengajak buruh lainnya yang sedang bekerja, untuk ikut turun ke jalan.Dan sempat terjadi ketegangan saat sweeping. Tapi karena massa yang sweeping lebih banyak, mereka (buruh yang bekerja) akhirnya tidak berdaya dan bersedia ikut unjuk rasa.
Jalan tol Jakarta-Cikampek lumpuh pada Jumat 27 Januari 2012, Ruas jalan tol yang menjadi nadi perekonomian di kawasan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang Bekasi) itu diblokir oleh ribuan buruh. Amarah mereka terpanggang oleh pengingkaran janji para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Bekasi, yang membatalkan pencabutan gugatan upah minimum kabupaten (UMK). Aksi yang diikuti oleh seluruh buruh pabrik sekabupaten Bekasi itu dimulai sekitar pukul 09.00 WIB.
Pusat aksi difokuskan di 7 kawasan industri seperti Ejip, Hyundai, Delta Silicon, Jababeka 1, Jababeka 2, MM 2100, dan Kawasan Gobel. Mereka menutup jalan di KM 31 Cikarang Barat. Akibatnya, arus lalu lintas dari arah Jakarta menuju Cikampek maupun sebaliknya, mengalami macet hingga puluhan kilometer.
Kemacetan bahkan mengular hingga jalan Kalimalang, Cawang, Jalan Raya Pangkalan Jati dan Bekasi. Arus lalu lintas di wilayah itu pun nyaris lumpuh. Situasi pun kian memanas saat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menemui demonstran yang memusatkan konsentrasi massa di km 24.400, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat
Ribuan buruh yang menggunakan sepeda motor dan kendaran roda empat itu kemudian bergerak ke arah pintu tol Cikarang Barat untuk melakukan pemblokiran. Selain memblokir jalan tol, dalam aksi ini ribuan buruh juga akan melakukan rapat akbar. Rapat dilakukan di dua tempat, yakni di patung kuda Kawasan Industri Jababeka, dan di perempatan Lippo Kawasan Industri EJIP.
 Aksi demo ribuan buruh ini menyebabkan kemacetan panjang di Tol Cikampek. Hal itu karena para buruh menutup sejumlah akses jalan. "Mereka mencoba menutup akses akses tol masuk maupun keluar Cikarang Barat
Menurut petugas informasi Jasamarga  ekor kepadatan sampai Pondok Gede. Dari arah Jakarta ada dua titik, Jatiwaringin ke Bekasi Barat, dan Tambun-Cikarang. Sedangkan arah sebaliknya, macet mulai dari Karawang Barat sampai Cikarang Barat, Macet dari Km44 sampai Km 31
Ribuan buruh yang melakukan demonstrasi selama kurang lebih delapan jam di kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, untuk menuntut kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) akhirnya membuahkan hasil.
Ribuan buruh menutup akses tol Jakarta-Cikampek. Arus lalu lintas dari Jakarta macet total, begitu juga sebaliknya. Antrean mobil pun mengular.
Berdasarkan pantauan VIVAnews.com di TMC Polda Metro Jaya, sampai pukul 17.00 WIB, kemacetan telah berlangsung dari KM 9 Pondok Gede Timur mengarah ke Cikampek. Kendaraan yang terpantau di KM 22 tampak tidak bergerak. Kemacetan panjang bahkan telah terjadi di tol Cawang menuju ke Cikampek.
Sukses memblokir jalan tol Jakarta-Cikampek, aksi ribuan buruh bergeser ke jalan umum (arteri). Di jalan ini aksi blokir juga dilakukan.
Sementara ratusan aparat kepolisian dan personel TNI sudah bersiagauntuk  mengantisipasi aksi tersebut.

Aksi demo besar-besaran para buruh di kawasan industri Bekasi ini membuat  masyarakat prihatin dengan nasib para buruh, sekaligus menyayangkan aksi demo tersebut. Mengapa prihatin ?  karena saat ini untuk menaikan kesejahteraan, para buruh harus terlebih dahulu melakukan aksi demonstrasi.  Kemudian sekaligus menyayangkan, karena membuat produksi di banyak pabrik lumpuh serta mengganggu ketertiban umum dengan menutup akses Jalan Tol Bandung – Jakarta.  Banyak orang yang pro dan kontra mengenai aksi buruh ini, ada juga orang yang peduli dan skeptis.  Orang yang menganggap skeptis berpikir bahwa aksi yang dilakukan para buruh ini tentunya tidak harus sampai menutup akses jalan dan membuat kekacauan serta tindakan anarkis.
Kemudian bagaimana apabila produksi pabrik bekerja lumpuh, kemudian perusahaan merugi dan akhirnya bangkrut ?..bukankah mereka menjadi tidak bisa bekerja dan mendapatkan uang lagi?..Kemudian orang skeptis yang terakhir mengatakan apabila gaji mereka kecil, mengapat tidak pindah?atau berwirausaha?.
Dan issu seperti ini – dimana kondisi perekonomian negara memang sedang sulit, rakyat miskin makin banyak, biaya hidup makin mahal Tapi benarkah upaya Apindo itu suatu bentuk pemiskinan? Apakah kini kewajiban menghapuskan kemiskinan dan mensejahterakan rakyat sudah beralih ke tangan para pengusaha?
Wajarkah kenaikan upah sebesar 16% – 43,8%? Bukankah upah bisa naik jika terjadi peningkatan produktivitas, peningkatan sales dan efisiensi atau setidaknya salah satu dari 3 unsur itu? Dan tentu tidak mungkin pula jika kenaikan sales hanya 6% maka kenaikan upah 16%. Jika efisiensi yang dilakukan hanya mampu meredusir biaya 3%, tentu tak mungkin menaikkan biaya personil 30%. Kalau produktivitas hanya naik 5%, tentu mustahil memberikan kompensasi 43%.
Wajarkah kenaikan upah sebesar 16% – 43,8%? Bukankah upah bisa naik jika terjadi peningkatan produktivitas, peningkatan sales dan efisiensi atau setidaknya salah satu dari 3 unsur itu? Dan tentu tidak mungkin pula jika kenaikan sales hanya 6% maka kenaikan upah 16%. Jika efisiensi yang dilakukan hanya mampu meredusir biaya 3%, tentu tak mungkin menaikkan biaya personil 30%. Kalau produktivitas hanya naik 5%, tentu mustahil memberikan kompensasi 43%.
Presiden sendiri sudah menyebut “keberhasilan” pemerintahannya adalah dengan peningkatan perekonomian sebesar 6,3%. Laju inflasi juga bisa ditekan di angka 6%-an. Nah, dengan kondisi seperti ini,  Belum lagi, kenaikan UMK itu tak hanya berdampak pada upah pokok saja. Premi Jamsostek akan naik 7,89% bagi pekerja lajang dan naik 10,89% bagi pekerja yang sudah berkeluarga. Besaran THR dan cadangan pasca kerja (pesangon) serta upah lembur pun akan naik dengan prosentase yang sama. Jadi, bisa dibayangkan seperti apa besarnya beban yang harus ditanggung seorang pengusaha. Sementara, dalam kondisi dimana tingkat pertumbuhan ekonomi hanya berkembang 6% saja, sulit melakukan ekspansi pasar sampai lebih dari 10%. Tidak mungkin juga menaikkan harga jual barang dan jasa sampai lebih dari 6% jika tingkat inflasi hanya berkisar 6%. Bisa-bisa produk yang dijual malah tak laku, kalah bersaing dengan produk lain yang tidak mengalami kenaikan.
Karena itulah APINDO berkeberatan untuk menaikan UMR buruh.
Upah naik 100%? Sudahkah produktivitas naik 2x lipat?
Sekarang mari kita cermati produktvitas buruh Indonesia pada umumnya. Survey yang dilakukan di pabrik kemeja Arrow yang ada di Indonesia dan Hongkong, dengan melibatkan pekerja yang latar belakang pendidikannya sama, diberikan pelatihan yang sama persis, bekerja dengan fasilitas mesin-mesin yang sama, dengan kecepatan ban berjalan sama, ternyata buruh di Indonesia dalam 8 jam menghasilkan 9 potong kemeja sedang buruh di Hongkong hasilnya 18 potong kemeja. Wow, 2x lipat! Atau kita yang cuma setengahnya?
Lain lagi di industri otomotif Toyota. Pekerja di pabrik mobil Toyota di Jepang mampu merakit 1 unit mobil tiap 6 menit, artinya sejam di produksi 10 unit mobil, sedang di pabrik Toyota di Indonesia hanya mampu menghasilkan 1 unit mobil dalam 1,5 jam atau 90 menit. Sangat jauh, 1 : 15! Itu sebabnya Indonesia disebut soft nation, sedangkan negara-negara China, Korea, Jepang disebut taft nation. Jadi sudah jelas bedanya : yang (lemah) lembut VS yang tangguh.
Padahal, di dunia industri yang menentukan suatu industri tetap bertahan hidup atau tidak adalah “daya saing”, yaitu tingkat produktivitas yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Jadi, kalau kemampuan kita menghasilkan produk dari sisi kuantitas saja hanya separuh bahkan 1/15 dari negara lain di Asia, maka tentunya sulit dipikir dengan logika jika upah kita harus disetarakan dengan upah pekerja di negara lain yang tingkat produktivitasnya tinggi. Itu baru kuantitas, kualitas apalagi. Dari penelitian yang dilakukan, yang disebut penyebab rendahnya produktivitas adalah etos kerja dan lingkungan. Sudah bukan rahasia lagi jika di Indonesia persoalan keluarga masih sangat berpengaruh pada tingkat kehadiran dan produktivitas kerja. Terutama pada pekerja wanita.
Dalam 10 tahun terakhir ini, banyak perusahaan asing semacam Sony, Nike, yang memilih hengkang dari Indonesia. Bahkan Research In Motion (RIM) selaku produsen BlackBerry pun ogah membuka pabrik di Indonesia, kendati Menkominfo ngotot pengguna BB di Indonesia adalah yang terbesar. Tiap tahun setidaknya 1,4 juat unit BB terjual di Indonesia, sedang di Malaysia hanya 1/10-nya saja. Tapi alasan ini toh tak membuat RIM memilih Indonesia sebagai tempat investasinya. Kenapa perusahaan asing itu ogah berinvestasi di sini dan yang sudah disini malah kabur? Jawabnya sederhana : tidak kompetitif! Produktivitas rendah, tapi tuntutannya upah tinggi.
Para buruh terus menuntut kenaikan upah sementara produktivitas mereka tidak naik. Dan tuntutan ini selalu diajukan dengan cara-cara demo, mogok kerja, mensabotase produksi bahkan terkadang merusak fasilitas produksi. Produktivitas yang rendah jadi makin terpuruk lagi.
Ada tiga pihak yang terlibat dalam penetapan upah, yaitu buruh, pengusaha, dan pemerintah. Sayangnya, tiga pihak itu tidak mau mencari solusi, selalu melihat persoalan upah dari kepentingan masing-masing.
Buruh sudah pasti memandang dari kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak, pengusaha selalu berlindung di balik argumentasi kelangsungan hidup perusahaan, dan pemerintah hanya melihat dari kacamata daya saing investsi.
Harus jujur diakui, relasi perburuhan di Indonesia adalah hubungan yang sarat dengan kecurigaan, terutama antara buruh dan pengusaha. Buruh bangga bila demonstrasi yang dilakukan mampu memacetkan produksi, bahkan membangkrutkan perusahaan. Sebaliknya, pengusaha bangga bila bisa mengakali pekerjanya.
Peran pemerintah mestinya bisa menyeimbangkan kepentingan buruh dan pengusaha. Ironisnya, tidak sedikit kepala daerah yang mengusung kepentingan sendiri pada saat menetapkan upah minimum.
Kepala daerah mengalah kepada tuntutan buruh hanya menjelang pemilu kada demi meraup suara. Setelah berkuasa, kepala daerah balik membela pengusaha untuk mendapatkan setoran.
Sudah saatnya pemerintah menetapkan standar sistem pengupahan minimum yang mengacu kepada kebutuhan hidup layak. Setelah itu, kenaikan upah secara otomatis disesuaikan dengan laju inflasi.

DAMPAK
Akibat aksi ini, ribuan kendaraan di beberapa ruas jalan sama sekali tidak bergerak. Jalan-jalan di wilayah JABODETABEK  lumpuh total serta membuat akses jalan Tol Bandung – Jakarta macet total
Pemblokiran jalan tol yang menjadi nadi perekonomian bangsa itu jelas merugikan masyarakat
Melumpuhkan produksi di banyak pabrik di kawasan Industri tersebut,
Demo dengan memblokir akses jalan utama telah menimbulkan persepsi negatif dari para investor. Kabarnya, sekitar 400 perusahaan akan merelokasi pabriknya ke luar Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bekasi. Jika para investor kabur dari wilayah ibukota negara dan sekitarnya, bisa jadi bakal memicu hengkangnya investor asing.
Kalangan pengusaha memperkirakan kehilangan pendapatan hingga US$20 miliar atau sekitar Rp179 triliun akibat aksi mogok kerja buruh di Kabupaten Bekasi Jawa Barat karena berhentinya proses produksi dan terjadinya keterlambatan penyerahan barang yang harus dikirim termasuk kegiatan ekspor.
Adanya perselisihan antara buruh dan pengusaha ini justru kontraproduktif terhadap perbaikan ekonomi. Hal ini, karena investor, terutama asing merasa tidak mendapatkan kepastian dalam hal upah buruh.
Perusahaan asing mengatakan kepada pemerintah jika selalu terjadi kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK), mereka akan merelokasi pabriknya ke tempat lain yang lebih kondusif.

SOLUSI
Apindo melangsungkan rapat dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, untuk menjelaskan akar permasalahan aksi mogok buruh ini.
Diadakannya mediasi antara perwakilan buruh dengan Apindo dan melakukan negoisassi diantara kedua belah pihak
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akhirnya mencabut gugatan atas putusan revisi upah minimum provinsi (UMK) yang resmi dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Dengan adanya kesepakatan baru ini, Hatta melanjutkan, maka Gubernur Jawa Barat akan mencabut upaya banding terhadap putusan PTUN Bandung. Dalam rapat tersebut hadir pula para pengusaha yang diwakili Apindo dan serikat pekerja yang diwakili oleh SPSI, FSPMI, GSPMII, dan FSBDSI.
Hatta menjelaskan, kesepakatan besaran UMK tersebut akan direkomendasikan oleh Bupati Bekasi kepada Gubernur Jawa Barat guna ditetapkan sebagai Upah Minimum Kabupaten Bekasi sebagai pengganti Keputusan Gubernur Jawa Barat sebelumnya, Sementara itu, bagi perusahaan yang nyata-nyata tidak mampu untuk memenuhi UMK sebagaimana Keputusan Gubernur Jawa Barat, diberikan kelonggaran untuk menyampaikan permohononan penangguhan UMK kepada Gubernur Jawa Barat.
Guna menjaga suasana yang tetap kondusif dalam hubungan industrial dan menjaga iklim investasi serta daya saing industri Indonesia, maka Serikat Pekerja bersepakat bahwa kejadian ini yang pertama dan terakhir
Setelah dikeluarkan kesepakatan bersama ini, akan dilakukan pembahasan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dengan melakukan fact finding dan benchmark tentang pemberlakuan upah minimum yang berlangsung selama ini terkait dengan kepatuhan pemberi kerja melaksanakan upah minimum
Seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, kesepakatan itu adalah menetapkan UMK Bekasi Rp1.491.000. Untuk kelompok II ditetapkan sebesar Rp1.715.000 dan kelompok I senilai Rp1.849.000.


KESIMPULAN
Kemenangan Apindo atas gugatan kenaikan Upah buruh minimum kawasan Industri Bekasi dan sekitarnya menyebabkan konflik bagi perusahaan dan pekerjanya.Para buruh yang bersikeras menginginkan upah minimum menjadi 30% dari upah semula.diwarnai dengan aksi Demo besar-besaran.
Demo para buruh menuntut Kenaikan Gaji UMR / Upah Minimun Kota di kawasan Industri Bekasi dan sekitarnya terbilang sangat memprihatinkan, hal ini dikarena melumpuhkan produksi di banyak pabrik di kawasan Industri yang mrenyebabkan kerugian hingga teriliuanan, ruas jalan JABODETABEK macet total serta membuat akses jalan Tol Bandung – Jakarta macet total yang tentunya sangat merugikan banyak pihak.
Usaha para buruh mogok kerja dan berdemo akhirnya memberikan hasil yang cukup memuaskan.Atas bantuan Pemerintah masalah tersebut dapat diselesaikan dengan disepakatinya Upah Minimum Buruh naik menjadi 30% dari upah semula sesuai dengan keinginan para buruh dimana kenaikan upah tersebut harus disertai komitmen dari para buruh untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi serta para buruh juga harus dapat memberikan nilai tambah pada perusahaan.


Agus Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di Periksa Polisi


Agus Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di Periksa Polisi
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menunda pemeriksaan terhadap moderator mailing list (milis) Forum Pembaca Kompas Agus Hamonangan soal artikel "Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto" karya jurnalis Narliswandi Piliang. Agus meminta waktu mencari pengacara yang akan mendampinginya selama pemeriksaan oleh Satuan Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus.  
Penyidik Polda Metro Jaya semula memanggil Agus Hamonangan untuk dimintai keterangan. Ia akan diperiksa sebagai saksi kasus pencemaran nama baik dan penistaan yang dilaporkan oleh politikus Partai Amanat Nasional Alvin Lie. Alvin menilai Narliswandi mencemarkan namanya dengan menulis artikel itu. "Saya agak kaget, ini pertama kali moderator milis dipanggil polisi," ucap Agus
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai materi pemuatan dalam suatu mailing list (milis) forum diskusi tidak dimasukan ke dalam jalur hukum. Pernyataan itu terkait kasus pemeriksaan moderator milis Forum Pembaca Kompas (FPK), Agus Hamonangan sebagai saksi perkara pencemaran nama baik di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.  Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selaku pendamping hukum Agus Hamonangan menyatakan, penyidik mengajukan 12 pertanyaan kepada Agus Hamonangan di antaranya adalah prosedur pendaftaran anggota milis, prosedur posting email, dan tanggung jawab moderator terhadap posting email. Agus diperiksa sebagi saksi terkait pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, karya Narliswandi Piliang, atau yang dikenal dengan nama Iwan Piliang. Pelapor kasus tersebut adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie.
Artikel tersebut awalnya ditulis di Tajuk Rakyat dan tersebar di milis. Dalam artikel itu diceritakan tentang kedatangan Alvin Lie ke PT Adaro untuk menemui Teddy Rahmat. Alvin Lie mengajukan permintaan uang Rp 6 miliar sebagai kompensasi penggagalan hak angket PT Adaro di DPR. Setelah terjadi tawar-menawar kemudian disepakati Rp1 miliar untuk Alvin Lie.  Apabila Alvin Lie berkeberatan terhadap tulisan yang dimuat maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah menjadi anggota milis atau menghubungi moderator untuk memuat jawaban darinya, kata Direktur Publikasi dan pendidikan publik YLBHI, Agustinus Edy Kristianto dalam keterangan resminya, (Kamis 4/9/2008).
Seperti dikatakan Agustinus, saksi Agus Hamonangan mengatakan, dalam pendaftaran anggota milis FPK hanya dibutuhkan alamat email saja. Semua bebas mengemukakan pendapat asal tidak berbau suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Moderator tidak mengubah isi dari tulisan dan tidak bertanggungjawab terhadap tulisan. Apabila ada yang berkeberatan akan sebuah opini maka biasanya akan ada opini lain yang menjawab dalam milis diskusi FPK. Alvin Lie, tidak memberikan pernyataan untuk menjawab diskusi dalam FKK.
Agus Hamonangan diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya Sat. IV Cyber Crime yakni Sudirman AP dan Agus Ristiani. Merujuk pada laporan Alvin Lie, ketentuan hukum yang dilaporkan adalah dugaan perbuatan pidana pencemaran nama baik dan fitnah seperti tercantum dalam Pasal 310, 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta dugaan perbuatan mendistribusikan/mentransmisikan informasi elektonik yang memuat materi penghinaan seperti tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kemajuan teknologi memasuki abad informasi, ada upaya kita untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang berlaku sesuai kaidah hukum, seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas jurnalisme warga (citizien journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di jejaring internet lainnya tidak bisa dihukum. Dan fenomena ini muncul dalam kehidupan kita, ketika tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu situs Web dimasukkan ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator forum dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul ketika terjadi pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab atas materi isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?

Pipa Dua Arah
Ini menjadi ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur Ini persoalan rumit, melibatkan banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama sekali. Di sisi lain, persoalan keseluruhan hidup dan aktivitas kita di jejaring internet.
Persoalan ini penting untuk mengukur apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring internet adalah bebas nilai yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh seseorang, atau memfitnah atas nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kebenaran?
Setelah tergulingnya Orde Baru, demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan dalam dua sisi sebuah koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang menggebu-gebu memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta menghadirkan empat presiden yang berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir kezaliman dan kejahatan diri kita semua dalam cara berpikir dan korupsi. Artinya, campuran demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sisi kedua, teknologi komunikasi informasi tercampur demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga, yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita dan informasi.  Artinya, dalam era demokrasi-reformasi berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara kepulauan Nusantara ini adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua warga menjadi agregator, dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters Tom Glocer, dari kantor berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita hidup dalam era pipa dua arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua orang memiliki potensi sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.

Bunyi Pasal 27 Ayat 1
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dasar–dasar diajukannya permohonan pengujian ini adalah karena Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menurut para pemohon telah bertentangan dengan prinsip–prinsip negara hukum yang menginginkan setiap pembentukan UU dijelaskan secara jelas, dapat dimengerti, dan dapat dilaksanakan secara adil. Selain itu Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak memilih para penyelenggara negara melalui pemilu. Untuk itu rakyat berhak untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara. Informasi tersebut, akan sangat mudah berbelok menjadi tindak pidana penghinaan, sehingga membuat para pemohon tidak lagi dapat secara bebas untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara yang akibatnya para pemohon kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara tepat, bijak, dan rasional. Pasal 27 ayat (3) telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum karena pasal 27 ayat (3) tidak dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum.
Selain itu rumusan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan karena, jika ancaman pidana lebih dari 5 tahun dapat secara efektif menghambat hak para pemohon untuk menduduki jabatan – jabatan publik dan menjadi bagian dari profesi hukum. Untuk itu Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi
Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.
Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda, Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.

Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu
1)      unsur obyektif dan
2)       unsur subyektif.

Unsur Obyektif
Di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:
·         Mendistribusikan
·         Mentransmisikan
·         Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Unsur Subyektif
Berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi IT. Kalau kita lihat konteks pengundangan ini, maka sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini merupakan lex specialis dari KUHP karena merupakan pengkhususan dari penghinaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) di ranah internet. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE dapat dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet sedangkan tidak ada penjelasan tersendiri terhadap pasal ini.
Permasalahan ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah pengundangan UU ITE. Kasus pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut dengan Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang anggota DPR melalui milis Forum Pembaca Kompas. Berdasarkan laporan Alvien Lie kepada polisi tersebut pada tanggal 25 November 2008 Iwan Piliang menggugat pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang didukung oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan Asosisasi Pengusaha Warnet dan Komunitas Telematika (Apwkomitel).
Adapun bunyi putusan terhadap gugatan dari Iwan Piliang adalah sebagai berikut:
·         Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku pemohon;
·         Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo;
·         Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum;
·         Dalil-dalil para Pemohon tidak tepat dan tidak beralasan hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia:
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Adapun bunyi putusan oleh legal standing kedua dari pers adalah sebagai berikut: Materi muatan ayat dan pasal undang-undangan yang dimohonkan pengujiannya sama dengan materi, muatan, ayat, atau pasal undang-undang yang telah diperiksa, diadili, dan diputus dalam perkara Nomor 50/PUU-VI/2008 yang amarnya berbunyi “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”, oleh karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Salah satu pertimbangan dari majelis hakim MK saat itu adalah bahwa sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak mengatur kaidah hukum baru, melainkan hanya mempertegas penghinaan di dalam KUHP dengan tambahan ranah internet. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE pada awal pengundangannya adalah bahwa unsur-unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE haruslah mengacu kepada unsur-unsur penghinaan/pencemaran nama baik pada KUHP dengan tambahan sarana internet sebagai medianya. Pasal 27 ayat 3 UU ITE mensyaratkan bahwa yang dapat dikenai pidana adalah seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

Pengabaian Fakta Hukum
Putusan MK No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 terkait dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara jelas telah mengabaikan fakta – fakta yang terungkap di persidangan sebagai berikut:
(1)   Ketidakjelasan kategorisasi delik
Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas tidak menjelaskan apakah delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik Biasa. Jika merujuk pada pendapat Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dalam sidang pleno pada 19 Maret 2009 yang pada pokoknya menerangkan bahwa kategorisasi delik reputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat tergantung pada delik reputasi dalam KUHP yang di-insert kedalamnya.
Dengan kata lain apabila delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik biasa maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik biasa namun jika delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik aduan maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. Dalam pertimbangannya, MK langsung menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE masuk dalam kategori delik aduan, tanpa ada penjelasan teoritis bagaimana MK menemukan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan
(2)   Delik reputasi dalam KUHP masih mampu menjangkau ranah internet
(3)   Tidak ada negara hukum modern yang memiliki delik reputasi yang diatur secara khusus untuk penggunaan di ranah internet
(4)   Kekaburan Definisi
Selain itu pengertian akses sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE jelas berlawanan dengan pengertian akses dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dimana akses menurut Pasal 1 angka 15 dilakukan terhadap sistem elektronik dan bukan terhadap informasi dan/atau dokumen elektonik.
Terlihat jelas, bahwa Putusan No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan No 2/PUU-VII/2009 telah mengabaikan beragam fakta hukum yang tampil di persidangan sebagaimana telah penulis sebutkan diatas

Bukan Konstitusional Bersyarat
Salah satu yang dapat dianggap kemenangan kecil adalah masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam delik aduan, namun yang harus catatan penting dan harus dicermati dengan baik adalah pernyataan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya ada dalam pertimbangan hukum MK dan bukan masuk kedalam amar putusan atau dalam kesimpulan dari Putusan MK tersebut. Sehingga dalam pandangan penulis, sangat mungkin terjadi apabila aparat penegak hukum malah mengabaikan pertimbangan hukum dari MK tersebut dan mengikuti pandangan dari Dr. Mudzakkir, SH, MH, Ahli pemerintah, yang menyatakan bahwa kategorisasi delik reputasi dalam Pasal 27 ayat (3) mengikuti jenis delik reputasi dalam KUHP yang akan didakwakan.
Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis): “Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Sementara dalam Putusan Perkara No 2/PUU-VII/2009, MK malah menyatakan (garis tebal oleh penulis): “Bahwa unsur sengaja berarti pelaku menghendaki dan mengetahui perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumentasi elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Unsur tanpa hak dimaksudkan untuk menghindarkan orang yang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik berdasarkan hukum dapat dipidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Menimbang :
a.       bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat
b.      bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebarke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa
c.       bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru
d.      bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional
e.       bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
f.       bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia
g.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

KESIMPULAN
Menurut  pendapat kelompok kami atas kasus ini adalah suatu ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur persoalan ini, karena melibatkan banyak aspek seperti memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru di jejaring internet.  Seharusnya pemerintah lebih mengatur dan lebih memperhatikan lagi tentang semua isi yang ada di Udang-Undang maupun di dalam pasal-pasal yang sudah di sah kan oleh pemerintah, agar masalah tentang pelanggar UU ITE tidak terjadi lagi. Belajar dari kasus ini, seharusnya para jurnalisme harus lebih berhati-hati lagi dalam menulis suatu berita maupun menuliskan suatu fakta dari seorang narasumber yang di wawancarainya, agar tidak bermasalah dengan tulisan atau berita yang jurnalis sudah tulis baik melalui media cetak, media elektronik, maupun melalui internet.




TUGAS MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KASUS KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA SEHUBUNGAN
DENGAN PASAL 27 AYAT 3 UUD 1945 DAN
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008



Anggota Kelompok  4            :
1.      Niki Purnama Sari                   (14210982)
2.      Ninda Utami Ridanti             (15210000)
3.      Nur Anastatia                          (15210115)
4.      Ovia Dharma                           (15210292)
5.      Rahma Nuzuli Kartika N        (15210555)
6.      Raisa Fidayanti                       (15210596)
7.      Ria Indriati                              (15210848)
8.      Rini Pratiwi                             (19210529)
9.      Riri Syukriati                           (18210980)
10.  Sendy Oktaviani Putri                        (16210444)

  Kelas                         :                       2EA13

UNIVERSITAS GUNADARMA
2012 - 2013