Ketika hasil tes darah menunjukkan seseorang mengidap HIV positif, kondisi sesungguhnya ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Tidak hanya akan hidup selamanya dengan virus tersebut, tetapi yang terkadang lebih buruk adalah seseorang harus menghadapi stigma negative dari masyarakat.
Tak mudah untuk menerima kenyataan ketika seseorang pertama kali mengetahui dirinya mengidap HIV. Ibarat menerima vonis mati, reaksinya bisa bermacam-macam. Ada yang biasa saja karena memang belum tahu apa-apa tentang HIV, ada juga yang kaget hingga tak mampu berkata-kata.
Bagaimanapun tidak semua orang bisa menerima dan memperlakukan pengidap HIV seperti manusia pada umumnya. Sebagian masih beranggapan penyaki ini hanya diderita oleh orang-orang yang memiliki perilaku tidak bermoral, misalnya menggunakan narkoba suntik dan seks bebas.
Selain itu, pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahan HIV juga masih terbatas sehingga banyak yang paranoid atau mengalami ketakutan berlebih terhadap pengidapnya. Tak jarang pengidap HIV dikucilkan dari pergaulan, dipecat dari tempat kerja hingga dikeluarkan dari sekolah.
Reaksi kaget atau shock merupakan reaksi paling umum dialami para pengidap HIV ketika pertama kali mengetahui dirinya terinfeksi. Kadang-kadang reaksi ini disertai dengan sikap penolakan atau denial, yakni perasaan tidak percaya pada hasil tes yang mendorongnya untuk melakukan tes ulang.
Namun yang lebih buruk, kadang-kadang kekagetan ini berkembang menjadi depresi berat karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin dihadapi akibat penyakit ini.
Karena tidak mudah untuk menerima kenyataan seperti ini, tes HIV tidak bisa sembarangan dilakukan. Tes semacam ini harus didahului dengan konseling dan pendampingan psikologis atau disebut voluntary counseling test (VCT) untuk mengantisipasi reaksi-reaksi yang berakibat buruk bagi kejiwaan.
Ingat, Jangan jauhi orang yang mengidap HIV melainkan jauhi virusnya =)
Sumber : detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar