Agus
Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di Periksa Polisi
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menunda
pemeriksaan terhadap moderator mailing list (milis) Forum Pembaca Kompas Agus
Hamonangan soal artikel "Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto" karya
jurnalis Narliswandi Piliang. Agus meminta waktu mencari pengacara yang akan
mendampinginya selama pemeriksaan oleh Satuan Cyber Crime Direktorat Reserse
Kriminal Khusus.
Penyidik Polda Metro Jaya semula memanggil Agus Hamonangan
untuk dimintai keterangan. Ia akan diperiksa sebagai saksi kasus pencemaran
nama baik dan penistaan yang dilaporkan oleh politikus Partai Amanat Nasional
Alvin Lie. Alvin menilai Narliswandi mencemarkan namanya dengan menulis artikel
itu. "Saya agak kaget, ini pertama kali moderator milis dipanggil
polisi," ucap Agus
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai
materi pemuatan dalam suatu mailing list (milis) forum diskusi tidak dimasukan
ke dalam jalur hukum. Pernyataan itu terkait kasus pemeriksaan moderator milis
Forum Pembaca Kompas (FPK), Agus Hamonangan sebagai saksi perkara pencemaran
nama baik di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selaku
pendamping hukum Agus Hamonangan menyatakan, penyidik mengajukan 12 pertanyaan
kepada Agus Hamonangan di antaranya adalah prosedur pendaftaran anggota milis,
prosedur posting email, dan tanggung jawab moderator terhadap posting email. Agus
diperiksa sebagi saksi terkait pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan
Soekanto, karya Narliswandi Piliang, atau yang dikenal dengan nama Iwan
Piliang. Pelapor kasus tersebut adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat
Nasional Alvin Lie.
Artikel tersebut awalnya ditulis di Tajuk Rakyat dan
tersebar di milis. Dalam artikel itu diceritakan tentang kedatangan Alvin Lie
ke PT Adaro untuk menemui Teddy Rahmat. Alvin Lie mengajukan permintaan uang Rp
6 miliar sebagai kompensasi penggagalan hak angket PT Adaro di DPR. Setelah
terjadi tawar-menawar kemudian disepakati Rp1 miliar untuk Alvin Lie. Apabila Alvin Lie berkeberatan terhadap
tulisan yang dimuat maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
menjadi anggota milis atau menghubungi moderator untuk memuat jawaban darinya,
kata Direktur Publikasi dan pendidikan publik YLBHI, Agustinus Edy Kristianto
dalam keterangan resminya, (Kamis 4/9/2008).
Seperti dikatakan Agustinus, saksi Agus Hamonangan
mengatakan, dalam pendaftaran anggota milis FPK hanya dibutuhkan alamat email
saja. Semua bebas mengemukakan pendapat asal tidak berbau suku, agama, ras, antargolongan
(SARA). Moderator tidak mengubah isi dari tulisan dan tidak bertanggungjawab
terhadap tulisan. Apabila ada yang berkeberatan akan sebuah opini maka biasanya
akan ada opini lain yang menjawab dalam milis diskusi FPK. Alvin Lie, tidak
memberikan pernyataan untuk menjawab diskusi dalam FKK.
Agus Hamonangan diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya
Sat. IV Cyber Crime yakni Sudirman AP dan Agus Ristiani. Merujuk pada laporan
Alvin Lie, ketentuan hukum yang dilaporkan adalah dugaan perbuatan pidana pencemaran
nama baik dan fitnah seperti tercantum dalam Pasal 310, 311 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), serta dugaan perbuatan mendistribusikan/mentransmisikan
informasi elektonik yang memuat materi penghinaan seperti tertuang dalam Pasal
27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE).
Kemajuan teknologi memasuki abad informasi, ada upaya kita
untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang berlaku sesuai kaidah hukum,
seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas jurnalisme warga (citizien
journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di jejaring internet lainnya
tidak bisa dihukum. Dan fenomena ini muncul dalam kehidupan kita, ketika
tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu situs Web dimasukkan
ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator forum dipanggil
sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul ketika terjadi
pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab atas materi
isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?
Pipa Dua Arah
Ini menjadi ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur Ini persoalan rumit, melibatkan
banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang
menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama sekali. Di sisi lain,
persoalan keseluruhan hidup dan aktivitas kita di jejaring internet.
Persoalan
ini penting untuk mengukur apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring
internet adalah bebas nilai yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh
seseorang, atau memfitnah atas nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan
mengemukakan kebenaran?
Setelah tergulingnya Orde Baru, demokrasi dan kemajuan
teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan dalam dua sisi sebuah
koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang menggebu-gebu memanfaatkan
kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta menghadirkan empat presiden yang
berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir kezaliman dan kejahatan diri kita
semua dalam cara berpikir dan korupsi. Artinya, campuran demokrasi dan kemajuan
teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara
fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita
memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak
dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sisi kedua, teknologi komunikasi informasi tercampur
demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga,
yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan aktif dalam proses
pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita dan informasi. Artinya, dalam era demokrasi-reformasi
berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara kepulauan Nusantara ini
adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua warga menjadi agregator,
dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters Tom Glocer, dari kantor
berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita hidup dalam era pipa dua
arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua orang memiliki potensi
sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.
Bunyi Pasal 27
Ayat 1
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik. Sanksi pelanggaran
pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Dasar–dasar diajukannya permohonan pengujian ini adalah
karena Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27
ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat (1),
Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menurut para pemohon telah
bertentangan dengan prinsip–prinsip negara hukum yang menginginkan setiap
pembentukan UU dijelaskan secara jelas, dapat dimengerti, dan dapat
dilaksanakan secara adil. Selain itu Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan asas
legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan prinsip kedaulatan
rakyat, dimana rakyat berhak memilih para penyelenggara negara melalui pemilu.
Untuk itu rakyat berhak untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan
menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara.
Informasi tersebut, akan sangat mudah berbelok menjadi tindak pidana
penghinaan, sehingga membuat para pemohon tidak lagi dapat secara bebas untuk
menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar
belakang dari para calon penyelenggara negara yang akibatnya para pemohon
kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara tepat, bijak, dan
rasional. Pasal 27 ayat (3)
telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum karena pasal 27 ayat (3)
tidak dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan
pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian
hukum.
Selain itu rumusan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1)
mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan karena, jika ancaman pidana lebih
dari 5 tahun dapat secara efektif menghambat hak para pemohon untuk menduduki
jabatan – jabatan publik dan menjadi bagian dari profesi hukum.
Untuk itu Para Pemohon mengajukan permohonan
pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi
Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon
mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip
negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, melanggar prinsip
lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai potensi
disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan
informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.
Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat
bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam
KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru tentu harus
dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga
menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda,
Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara
khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Di dalam
Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu
1) unsur
obyektif dan
2) unsur subyektif.
Unsur
Obyektif
Di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:
·
Mendistribusikan
·
Mentransmisikan
·
Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa
hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur Subyektif
Berupa
kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan
mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi
dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU
ITE tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi IT. Kalau kita lihat konteks
pengundangan ini, maka sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini merupakan lex
specialis dari KUHP karena merupakan pengkhususan dari penghinaan di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) di ranah
internet. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27
ayat 3 UU ITE dapat dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet
sedangkan tidak ada penjelasan tersendiri terhadap pasal ini.
Permasalahan
ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah pengundangan UU ITE. Kasus
pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis
bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut dengan Iwan Piliang kepada
Alvien Lie seorang anggota DPR melalui milis Forum Pembaca Kompas. Berdasarkan
laporan Alvien Lie kepada polisi tersebut pada tanggal 25 November 2008 Iwan
Piliang menggugat pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang didukung
oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan Asosisasi Pengusaha Warnet dan
Komunitas Telematika (Apwkomitel).
Adapun bunyi putusan terhadap
gugatan dari Iwan Piliang adalah sebagai berikut:
·
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk bertindak selaku pemohon;
·
Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara a quo;
·
Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1)
Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak
asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum;
·
Dalil-dalil para Pemohon tidak tepat dan tidak
beralasan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia:
Menyatakan menolak permohonan
Pemohon untuk seluruhnya. Adapun bunyi putusan oleh legal standing kedua dari
pers adalah sebagai berikut: Materi muatan ayat dan pasal undang-undangan yang
dimohonkan pengujiannya sama dengan materi, muatan, ayat, atau pasal
undang-undang yang telah diperiksa, diadili, dan diputus dalam perkara Nomor
50/PUU-VI/2008 yang amarnya berbunyi “Menyatakan menolak permohonan Pemohon
untuk seluruhnya”, oleh karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia
Menyatakan permohonan Pemohon tidak
dapat diterima. Salah satu pertimbangan dari majelis hakim MK saat itu adalah
bahwa sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak mengatur kaidah hukum baru,
melainkan hanya mempertegas penghinaan di dalam KUHP dengan tambahan ranah
internet. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik terhadap
Pasal 27 ayat 3 UU ITE pada awal pengundangannya adalah bahwa unsur-unsur Pasal
27 ayat 3 UU ITE haruslah mengacu kepada unsur-unsur penghinaan/pencemaran nama
baik pada KUHP dengan tambahan sarana internet sebagai medianya. Pasal 27 ayat 3 UU ITE mensyaratkan bahwa yang dapat dikenai
pidana adalah seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.
Pengabaian Fakta Hukum
Putusan
MK No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 terkait dengan Pasal 27
ayat (3) UU ITE secara jelas telah mengabaikan fakta – fakta yang terungkap di
persidangan sebagai berikut:
(1)
Ketidakjelasan
kategorisasi delik
Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas tidak menjelaskan apakah delik
ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik Biasa.
Jika merujuk pada pendapat Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dalam sidang
pleno pada 19 Maret 2009 yang pada pokoknya menerangkan bahwa kategorisasi
delik reputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat
tergantung pada delik reputasi dalam KUHP yang di-insert kedalamnya.
Dengan kata lain apabila delik reputasi dalam KUHP yang
di-insert adalah delik biasa maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU
ITE adalah delik biasa namun jika delik reputasi dalam KUHP yang di-insert
adalah delik aduan maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah
delik aduan. Dalam pertimbangannya, MK langsung menyatakan bahwa Pasal 27 ayat
(3) UU ITE masuk dalam kategori delik aduan, tanpa ada penjelasan teoritis
bagaimana MK menemukan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan
(2)
Delik reputasi dalam
KUHP masih mampu menjangkau ranah internet
(3)
Tidak ada negara hukum
modern yang memiliki delik reputasi yang diatur secara khusus untuk penggunaan
di ranah internet
(4)
Kekaburan Definisi
Selain itu pengertian akses sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 angka 15 UU ITE jelas berlawanan dengan pengertian akses dalam Pasal 27
ayat (3) UU ITE, dimana akses menurut Pasal 1 angka 15 dilakukan terhadap
sistem elektronik dan bukan terhadap informasi dan/atau dokumen elektonik.
Terlihat jelas, bahwa Putusan No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan No
2/PUU-VII/2009 telah mengabaikan beragam fakta hukum yang tampil di persidangan
sebagaimana telah penulis sebutkan diatas
Bukan
Konstitusional Bersyarat
Salah satu yang dapat dianggap kemenangan kecil adalah
masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam delik aduan, namun yang harus catatan
penting dan harus dicermati dengan baik adalah pernyataan bahwa Pasal 27 ayat
(3) UU ITE hanya ada dalam pertimbangan hukum MK dan bukan masuk kedalam amar
putusan atau dalam kesimpulan dari Putusan MK tersebut. Sehingga dalam
pandangan penulis, sangat mungkin terjadi apabila aparat penegak hukum malah
mengabaikan pertimbangan hukum dari MK tersebut dan mengikuti pandangan dari
Dr. Mudzakkir, SH, MH, Ahli pemerintah, yang menyatakan bahwa kategorisasi
delik reputasi dalam Pasal 27 ayat (3) mengikuti jenis delik reputasi dalam
KUHP yang akan didakwakan.
Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis): “Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis): “Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Sementara dalam Putusan Perkara No 2/PUU-VII/2009, MK malah
menyatakan (garis tebal oleh penulis): “Bahwa unsur sengaja berarti pelaku menghendaki dan
mengetahui perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan
mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumentasi elektronik tersebut memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan unsur tanpa hak
merupakan unsur melawan hukum. Unsur tanpa hak dimaksudkan untuk menghindarkan
orang yang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik berdasarkan hukum
dapat dipidana.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Menimbang
:
a. bahwa
pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa
tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat
b. bahwa
globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan
Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan
Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebarke
seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa
c. bahwa
perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung
telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru
d. bahwa
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk
menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional
e. bahwa
pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
f. bahwa
pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur
hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan
secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai
agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia
g. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
KESIMPULAN
Menurut pendapat kelompok kami atas kasus ini adalah suatu ujian penting untuk
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur
persoalan ini, karena melibatkan banyak aspek seperti memanfaatkan kemajuan
teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru di jejaring
internet. Seharusnya pemerintah lebih
mengatur dan lebih memperhatikan lagi tentang semua isi yang ada di
Udang-Undang maupun di dalam pasal-pasal yang sudah di sah kan oleh pemerintah,
agar masalah tentang pelanggar UU ITE tidak terjadi lagi. Belajar dari kasus
ini, seharusnya para jurnalisme harus lebih berhati-hati lagi dalam menulis
suatu berita maupun menuliskan suatu fakta dari seorang narasumber yang di
wawancarainya, agar tidak bermasalah dengan tulisan atau berita yang jurnalis
sudah tulis baik melalui media cetak, media elektronik, maupun melalui
internet.
TUGAS MAKALAH PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
KASUS
KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA SEHUBUNGAN
DENGAN
PASAL 27 AYAT 3 UUD 1945 DAN
UNDANG-UNDANG
NO. 11 TAHUN 2008
Anggota
Kelompok 4 :
1. Niki
Purnama Sari (14210982)
2. Ninda
Utami Ridanti (15210000)
3. Nur
Anastatia (15210115)
4. Ovia
Dharma (15210292)
5. Rahma
Nuzuli Kartika N (15210555)
6. Raisa
Fidayanti (15210596)
7. Ria
Indriati (15210848)
8. Rini
Pratiwi (19210529)
9. Riri
Syukriati (18210980)
10. Sendy
Oktaviani Putri (16210444)
Kelas : 2EA13
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2012
- 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar